Menggali Pembelajaran Inovatif: Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan UNESA Manfaatkan YouTube dan Google Translate untuk Riset Teks Multikultural
Menggali Pembelajaran Inovatif: Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan UNESA Manfaatkan YouTube dan Google Translate untuk Riset Teks Multikultural
20 Desember 2024 | Dr. Rofik Jalal Rosyanafi, M.Pd.
Surabaya – Semangat inovatif kembali ditunjukkan oleh mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Mereka mulai memanfaatkan berbagai konten video di YouTube dan fitur penerjemahan Google Translate untuk menggali kekayaan teks multikultural sebagai bagian dari riset akademik. Praktik ini dipelopori oleh Fahmi, kandidat doktor di bawah bimbingan Dr. Widodo, M.Pd., yang tengah melakukan penelitian tentang integrasi budaya dalam pendidikan.
Fahmi menjelaskan, salah satu alasan utama menjadikan YouTube sebagai sumber riset adalah keragaman konten lintas budaya yang ditawarkannya. “Kita dapat menemukan penjelasan bahasa, tradisi, hingga adat istiadat dari berbagai belahan dunia hanya dengan beberapa klik. Bagi mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan, ini adalah harta karun yang bisa dimanfaatkan untuk memperkaya analisis teori multikultural,” ujarnya.
Prosesnya diawali dengan penelusuran topik budaya tertentu, misalnya praktik pembelajaran di sekolah desa terpencil di Afrika, atau tradisi literasi di Jepang. Video yang dipilih kemudian ditranskripsi otomatis oleh YouTube, sebelum akhirnya melalui tahap penyempurnaan (proofreading) dengan bantuan Google Translate. “Hasilnya memang tak selalu sempurna di awal, tapi dengan penyesuaian manual, kita bisa memperoleh teks yang cukup representatif untuk dianalisis,” lanjut Fahmi.
Sementara itu, Dr. Widodo, M.Pd. menegaskan bahwa pendekatan ini membuka pintu kolaborasi antarmahasiswa S3 yang berasal dari beragam latar belakang budaya. “Setelah kita kumpulkan teks multikultural dalam jumlah banyak, mahasiswa dapat bekerja sama melakukan komparasi, memetakan perbedaan, dan mengeksplorasi potensi penerapannya dalam kurikulum pendidikan. Hasil studi semacam ini diharapkan mampu mendobrak sekat-sekat pemahaman budaya,” paparnya.
Tidak hanya berhenti pada upaya meneliti teks, para mahasiswa juga berusaha mengemas pengetahuan yang mereka dapat dalam bentuk modul pembelajaran. Modul ini memuat contoh video dan transkrip multibahasa sehingga dapat digunakan sebagai bahan ajar di kelas. Tentu saja, ini menjadi langkah nyata dalam mewujudkan visi “pendidikan yang inklusif dan berwawasan global.”
Di sisi lain, beberapa tantangan teknis juga muncul. Selain koneksi internet yang andal, para peneliti harus meluangkan waktu khusus untuk melakukan quality control atas hasil terjemahan. Fahmi menegaskan, “Kita tidak bisa hanya mengandalkan Google Translate begitu saja. Perlu ketelitian dan kepekaan terhadap konteks budaya, agar makna teks tidak salah kaprah.”
Meski demikian, temuan awal menunjukkan bahwa pendekatan ini berpotensi besar bagi studi multikultural di jenjang pascasarjana. Mahasiswa merasa lebih mudah mengakses sumber-sumber dari berbagai negara, sehingga pemahaman mereka pun menjadi lebih luas dan mendalam.
Melalui pemanfaatan YouTube dan Google Translate untuk riset teks multikultural, Program Doktor Ilmu Pendidikan UNESA ingin membuktikan bahwa teknologi digital bukan sekadar alat, melainkan pintu masuk bagi lahirnya pembelajaran inovatif. Diharapkan, metode ini dapat terus berkembang di kalangan akademisi lain, sehingga universitas-universitas di Indonesia mampu bersaing dan berkontribusi di ranah pendidikan global.